Etik merupakan seperangkat prinsip yang harus dipatuhi agar pelaksanaan suatu kegiatan oleh seseorang atau profesi dapat berjalan secara benar (the right conduct), atau suatu filosofi yang mendasari prinsip tersebut. Penelitian bidang kesehatan pada awalnya merupakan penelitian bidang kedokteran, umumnya dilakukan oleh para dokter pada diri sendiri atau anggota keluarganya serta orang-orang yang terdekat. Pada waktu dulu hal ini dilakukan tanpa terjadi masalah mengganggu.
Etik penelitian kedokteran mulai menjadi perhatian karena mulai menimbulkan masalah antara lain akibat adanya pelanggaran hak individu atau subyek manusia dan kesadaran masyarakat yang makin meningkat. Beberapa contoh antara lain:
– Kasus Tuskegee (1932-1970), dimana dilakukan studi yang memperlajari perjalanan penyakit sifilis pada orang-orang negro. Para subyek orang negro tersebut, tidak diberi pengobatan, padahal penisilin telah ditemukan dan digunakan pada 1943
– Kasus Willowbrook (1950), suatu studi yang mempelajari penyakit hepatitis dengan menyertakan anak-anak terbelakang. Anak terbelakang termasuk kelompok rentan yang tidak dapat memberikan persetujuan yang mendasari kesukarelaan sebagai subyek
Pada th 1963 Jewish hospital melakukan studi yang menyertakan orang jompo sebagai subyek, dengan menyuntikkan sel kanker, untuk mempelajari reaksi imunologinya.
Pada Perang Dunia II, tawanan perang dimanfaatkan sebagai subyek penelitian, sampai diterbitkannya Nuremberg Code(1). Selanjutnya World Medical Assembly dalam sidangnya di Helsinki pada tahun 1964 mengambil kesepakatan untuk menerbitkan deklarasi khusus tentang etika kedokteran yang menyangkut subyek manusia. Deklarasi Helsinki memuat prinsip etika, dimana kepentingan subyek harus diatas kepentingan lain, berarti harus diperhatikan. Seorang dokter harus bertindak demi kepentingan pasiennya, dan tidak dapat melakukan tindakan yang merugikan pasien(2). Terdapat dua pernyataan yang merupakan kunci suatu penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek, yaitu :
1. Kepentingan individu subjek harus diberi prioritas dibandingkan dengan komunitas.
2. Setiap subjek dalam penelitian klinis harus mendapatkan pengobatan terbaik yang ada.
Pada Declaration of Helsinki ditetapkan bahwa selain diperlukan informed consent dari subjek penelitian, diperlukan juga ethical clearance yang dikeluarkan oleh Komisi Etik. Declaration of Helsinki juga mengatur tentang pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan dengan memperhatikan kesejahteraan hewan percobaan.
Pada tahun 1966, 2 tahun setelah diterbitkan Deklarasi Helsinki, Beecher dalam New England Journal of Medicine menerbitkan tulisan yang cukup menggemparkan dan mendapat tanggapan cukup luas(3). Beecher dalam tulisannya menjelaskan bahwa dari 100 artikel hasil penelitian kesehatan yang diterbitkan dalam jurnal terkemuka, 12 diantaranya dinilai tidak memenuhi kaidah etik, dan memberikan 22 contoh perlakuan tidak etis para peneliti terhadap subyek manusia. Belmont dalam laporannya pada 1979 mengemukakan 3 prinsip dasar etika pelaksanaan penelitian kedokteran atau kesehatan yang menyertakan manusia sebagai subyek penelitian.
Berbeda dengan etika praktek kedokteran yang telah berusia tua sejak jaman Hippocrates, etika dalam penelitian kesehatan pada umumnya termasuk epidemiologi masih relatif baru, namun istilah penelitian kedokteran sudah bergeser menjadi penelitian kesehatan mengingat semakin luasnya aspek kesehatan manusia yang menjadi lahan penelitian dan pengembangan. Pedoman etik pada penelitian epidemiologi diterbitkan oleh Council of International Organization of Medical Science (CIOMS) dengan bantuan Badan Kesenatan Dunia (WHO) pada tahun 1991. Selanjutnya CIOMS dan WHO pada tahun 1993 menerbitkan pedoman etika dalam penelitian Biomedik yang kemudian dijadikan pedoman bagi banyak negara termasuk Indonesia. (4,5).
Mengapa kajian etik penting dalam penelitian kesehatan?
Semua penelitian kesehatan ditujukan bagi peningkatan kesehatan dan kesejahteraan manusia. Pada tahap awal, penelitian obat dan atau terapi baru memang dilakukan pada berbagai spesies binatang percobaan yang disebut penelitian praklinik, bahkan sampai pada spesies yang mendekati biologi manusia seperti primata / kera. Pada tahap lanjutan bukti efektifitas dan keamanan suatu terapi dan atau obat baru tetap membutuhkan informasi dari manusia. Manusia adalah hewan coba terbaik bagi penelitian kedokteran atau kesehatan manusia. Manusia yang dilibatkan atau diikutkan dalam penelitian kesehatan bukanlah obyek penelitian melainkan subyek atau pelaku, bahkan di Pilipina, kalangan peneliti kesehatan sosial menyebutnya sebagai partisipan.
Penelitian kesehatan yang menggunakan manusia sebagai subyek, maka aspek etika –yang menyangkut penghargaan atas martabat manusia- tidak dapat dikesampingkan. Selain penghargaan atas hak dan martabat sebagai manusia, peneliti harus memahami bahwa informasi tentang substansi penelitian, adalah milik manusia subyek tersebut, baik informasi lisan maupun respon biologik. Paling kurang, kepada subyek harus dimintakan persetujuan untuk memberikan informasinya secara bebas, otonom dan sukarela, setelah terlebih dahulu memahami seluk beluk penelitian tersebut terutama manfaat dan risiko yang akan muncul akibat keikutsertaannya dalam penelitian. Dengan demikian akan terjadi semacam transaksi antara pemberi dan penerima informasi (dalam hal ini antara peneliti dengan subyek/partisipan). Karenanya, dibutuhkan penilai luar yang obyektif, sehingga perolehan informasi penting dari pemilik, benar-benar dapat terjaga. Penilai dari pihak luar yang obyektif dan independen umumnya disebut sebagai Komisi Etik Penelitian (Ethical Review Committee) yang harus melakukan kajian aspek etik secara ketat terhadap protokol penelitian kesehatan.
Alasan lain tentang pentingnya kajian etik terhadap protokol penelitian kesehatan adalah perkembangan sangat pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kedokteran termasuk didalamnya adalah ilmu genetika manusia yang berkembang sangat pesat. Aspek etika dalam ilmu ini nampaknya tidak dapat diabaikan, karena mencakup banyak hal yang tidak kasat mata. Bidang ilmu ini sulit dipahami -baik dari manfaat apalagi risikonya- oleh kaum awam, apalagi jika suatu saat mereka akan menjadi partsipan atau subyek penelitian.
Faktor global juga merupakan alasan untuk memperhatikan etika penelitian kesehatan karena kecenderungannya yang sering mengabaikan kelompok miskin di negara-negara berkembang. Cukup banyak contoh yang justru dikemukakan oleh negara maju bahwa banyak peneliti dan industri farmasi raksasa di negaranya yang melakukan pelanggaran etik dengan melakukan pengujian obat baru yang sulit atau tidak dapat dilakukan di negaranya sendiri. Beberapa contoh a.l. pengambilan darah secara masal pada populasi terisolir di negara berkembang yang masyarakatnya nyaris buta huruf, untuk suatu penelitian DNA tanpa persetujuan, penerapan standar ganda bagi subyek penelitian di negara maju dan negara berkembang dan masih banyak lagi (6). Selanjutnya informasi dari WHO pada tahun 2000 diketahui bahwa 90% sumber dana penelitian kesehatan ternyata hanya menyelesaikan masalah kesehatan bagi 10% populasi dunia dan terutama di negara naju (7). Jika hanya masalah kesehatan dari 10% populasi dunia, maka sangat mungkin masalah kesehatan kelompok miskin dinegara berkembang akan tersisihkan. Dari sini jelas bahwa kajian atas aspek etika bagi penelitian kesehatan sangat perlu dilakukan, terutama jika penelitian dilakukan oleh pihak negara maju.atau peneliti asing, yang semakin terbuka pada era global. Dalam hal ini kajian etik secara makro paling kurang harus mempertanyakan adakah penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat Indonesia atau bagi progam kesehatan di Indonesia. Dalam Pedoman Operasional Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbang Kesehatan secara jelas dikatakan bahwa dalam penelitian kerjasama dengan pihak asing, peneliti Indonesia harus jelas kedudukanya dalam tim dan harus dilibatkan sejak awal pengembangan proposal. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh pihak asing harus mengajukan untuk kajian etik di tempat penelitian akan dikerjakan. Rambu-rambu seperti ini sangat penting untuk menjaga agar penelitian asing benar memberi manfaat kepada masyarakat dan subyek orang Indonesia..
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tupoksi komisi etik penelitian kesehatan adalah melakukan kajian untuk melindungi keselamatan dan menghargai martabat manusia, baik sebagai subyek penelitian maupun penelitinya. Ethical clearance adalah pernyataan, bahwa rencana kegiatan penelitian yang tergambar dalam protocol, telah dilakukan kajian dan telah memenuhi kaidah etik sehingga layak dilaksanakan. Komisi etik dengan sendirinya akan mengkaji seluruh aspek penelitian tersebut, karena : not scientifically sound health research means unethical research. Jika penelitian dilakukan dengan mengikuti kaidah ilmiah dan etika yang berlaku, penelitinya pun akan merasa aman. Karena itu keberadaan Komisi Etik Penelitian Kesehatan yang melakukan kajian etik atas protokol-protokol penelitan kesehatan menjadi sangat dibutuhkan. Selain dimaksudkan untuk menjamin subyek penelitian juga menjaga agar para peneliti melakukan penelitian secara benar atau menjamin good practices of the researchers
Karenanya masalah etik ini perlu dipahami baik oleh para peneliti kesehatan di Indonesia ataupun para pemegang kebijakan di bidang kesehatan.